KEJAHATAN PERANG (WAR CRIMES)
a. Pengertian kejahatan perang
Kejahatan perang adalah suatu tindakan pelanggaran, dalam cakupan hukum internasional, terhadap hukum perang oleh satu atau beberapa orang, baik militer maupun sipil. Pelaku kejahatan perang ini disebut penjahat perang. Setiap pelanggaran hukum perang pada konflik antar bangsa merupakan kejahatan perang. Pelanggaran yang terjadi pada konflik internal suatu negara, belum tentu bisa dianggap kejahatan perang.
Kejahatan perang meliputi semua pelanggaran terhadap perlindungan yang telah ditentukan oleh hukum perang, dan juga mencakup kegagalan untuk tunduk pada norma prosedur dan aturan pertempuran, seperti menyerang pihak yang telah mengibarkan bendera putih, atau sebaliknya, menggunakan bendera perdamaian itu sebagai taktik perang untuk mengecoh pihak lawan sebelum menyerang.
Kejahatan perang merupakan bagian penting dalam hukum kemanusiaan internasional karena biasanya pada kasus kejahatan ini dibutuhkan suatu pengadilan internasional, seperti pada Pengadilan Nuremberg. Contoh pengadilan ini pada awal abad ke-21 adalah Pengadilan Kejahatan Internasional untuk Bekas Yugoslavia dan Pengadilan Kejahatan Internasional untuk Rwanda, yang dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB berdasarkan pasal VII Piagam PBB.
Pengertian kejahatan perang juga dapat diartikan sebagai suatu pelanggaran berat (diantaranya) terhadap Konvensi Jenewa tertanggal 12 Agustus 1949 yaitu masing-masing dari perbuatan berikut ini terhadap orang-orang atau hak milik yang dilindungi berdasarkan ketentuan Konvensi Jenewa yang bersangkutan :
1.Konvensi Jenewa I, II dan III : Ketentuan ini menyatakan bahwa pengrusakkan dan tindakan pemilikan atas harta benda yang tidak dibenarkan oleh kepentingan militer dan yang akan dilaksanakan secara luas, dengan melawan hukum dan dengan sewenang-wenang.
2. Konvensi Jenewa III dan IV :
a) Memaksa seorang tawanan perang atau orang yang dilindungi oleh
Konvensi Jenewa untuk berdinas dalam ketentaraan negara musuh.
b) Merampas dengan sengaja hak-hak tawanan perang atau orang yang
dilindungi oleh konvensi Jenewa atas peradilan yang adil dan wajar
yang ditentukan dalam Konvensi.
3. Konvensi Jenewa IV :
a) Deportasi dan pemindahan secara tidak sah.
b) Penahanan yang tidak sah.
c) Penyanderaan.
4. Protokol Tambahan I :
a) Setiap perbuatan yang dapat membahayakan kesehatan atau
integritas fisik maupun mental.
b) Dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan kematian
atau luka berat atas badan atau kesehatan, sebagai berikut :
(1) Serangan terhadap masyarakat sipil.
(2) Serangan membabi buta yang merugikan masyarakat sipil /obyek sipil.
(3) Serangan yang diarahkan pada instalasi yang berisi kekuatan
yang berbahaya.
(4) Serangan yang diarahkan pada perkampungan yang tidak
dipertahankan dan daerah diluar operasi militer.
(5) Serangan terhadap orang yg tidak lagi ikut dalam pertempuran.
(6) Penyalahgunaan tanda pelindung.
5. Dengan sengaja melakukan perbuatan sebagai berikut :
a) Pemindahan sebagian dari masyarakat sipilnya oleh pihak yang
menduduki ke dalam wilayah yang sedang diduduki, serta deportasi
atau pemindahan sebagian atau seluruh masyarakat sipil yang diduduki.
b) Keterlambatan dalam repatriasi tawanan perang atau orang sipil.
c) Tindakan yang merendahkan martabat manusia dan diskriminasi
berdasarkan atas perbedaan ras.
d) Serangan terhadap monumen sejarah, benda budaya dan tempat ibadah.
e) Tidak menghormati hak setiap orang yang dilindungi oleh
Hukum Jenewa untuk menerima pengadilan yang wajar.
Perbuatan-perbuatan yang dapat dikatagorikan sebagai pelanggaran berat berdasarkan Konvensi Jenewa I,II,III dan IV antara lain Pembunuhan yang disengaja, Penganiayaan dan perlakuan yang tidak manusiawi, termasuk percobaan biologis, Perbuatan yang menyebabkan penderitaan besar atau luka berat atas badan atau kesehatan.
b. Konvensi tentang war crimes
Kejahatan perang di atur oleh beberapa Statuta atau Konvensi Internasional yang mengatur tentang tindakan kejahatan perang, diantaranya diatur dalam Konvensi Den Haag tentang hukum dan kebiasaan perang didarat tanggal 18 Oktober 1907, kemudian kejahatan perang diatur juga dalam Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949 yang menetapkan perlindungan kemanusiaan bagi warga sipil di zona perang, dan perampok, dan praktek perang total . Dan Protokol tambahan Jenewa tahun 1977, serta Aliran New York ( The Current of New York ) .
Konvensi Den Haag: sekelompok norma Hukum Humaniter Internasional yang berfokus pada pengaturan tata-cara berperang dan penggunaan senjata yang diperbolehkan (conduct of war & permissible means of war). Perkembangan Hukum Den Haag dimulai pada tahun 1863 ketika Presiden AS Abraham Lincoln mengeluarkan Instruksi Lieber sebagai panduan bagi pasukan AS dalam Perang Saudara. Instruksi Lieber: perilaku berperang, standar perlakuan bagi tawanan perang. Instruksi Lieber (Lieber Code) disusun oleh Francis Lieber, seorang Amerika keturunan Jerman. Meskipun hanya merupakan dokumen domestik, Instruksi Lieber memiliki arti penting bagi perkembangan Hukum Humaniter Internasional. Dokumen ini menjadi model upaya kodifikasi hukum dan kebiasan perang pada lingkup internasional.
Perkembangan berikutnya terjadi tahun 1868, dengan dikeluarkannya Declaration Renouncing the Use, in Time of War, of Explosive Projectiles under 400 Grammes Weight (Deklarasi St. Petersburg) Tahun 1899 diselenggarakan Konperensi Den Haag I yang antara lain menghasilkan Convention with Respect to the Laws and Customs of War on Land. Tahun 1907 diselenggarakan Konferensi Den Haag II yang menghasilkan penyempurnaan hasil Konferensi Den Haag I dan konvensi-konvensi lain. Tahun 1925 Konferensi Jenewa menghasilkan Protocol for the Prohibition of the Use in War of Ashpyxiating, Poisonous or Other Gases, and Bacteriological Methods of Warfare.
Konvensi Jenewa: sekelompok norma Hukum Humaniter Internasional yang berfokus pada kondisi korban perang (conditions of war victims). Tahun 1864 di Jenewa diselenggarakan konferensi internasional yang menghasilkan Convention on the Amelioration of the Condition of the Wounded in Armies in the Field. Tahun 1899 dibuat konvensi serupa, namun ditujukan bagi korban perang di laut. Konvensi-konvensi Jenewa 1949:
• First Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded and Sick in Armed Forces in the Field, 1864
• Second Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of Wounded, Sick and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea, 1906
• Third Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War, 1929
• Fourth Geneva Convention relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War, 1949
Aliran New York: sekelompok norma Hukum Humaniter Internasional yang berfokus pada aspek HAM dalam pertikaian bersenjata. Aliran New York melahirkan mekanisme pertanggungjawaban pidana pelaku kejahatan perang (sebagai suatu kategori pelanggaran HAM) pada lingkup internasional melalui Mahkamah Nurnberg, ICTY, ICTR dan ICC.
c. Kewajiban Negara dari konvensi
Negara wajib melindungi orang-orang yang harus dilindungi berdasarkan Konvensi Jenewa yaitu dalam . Pasal 4 yang menentukan: Orang yang dilindungi oleh Konvensi adalah mereka yang, pada saat tertentu dan dengan cara apapun, menemukan sendiri, dalam kasus konflik atau pekerjaan, di tangan Partai ke konflik atau Menempati Kekuatan yang mereka tidak negara negara. Tetapi secara eksplisit tidak termasuk negara dari Negara yang tidak terikat oleh Konvensi dan warga negara netral atau sekutu jika negara yang normal hubungan diplomatik dalam Negara yang di tangan mereka.
PIRACY (PEMBAJAKAN)
a. Pengertian Piracy
Pembajakan adalah sebuah tindakan perang seperti yang dilakukan oleh pihak swasta (yang tidak berafiliasi dengan pemerintah mana pun) yang terlibat dalam tindak perampokan dan / atau kekerasan kriminal di laut . Istilah ini telah digunakan untuk merujuk pada serangan lintas batas tanah oleh agen-agen non-negara. Istilah ini juga dapat mencakup tindakan yang dilakukan di air atau di pantai. Pembajakan, menurut Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) tahun 1982, terdiri dari setiap tindak pidana kekerasan, penahanan, pemerkosaan, atau penyusutan berkomitmen untuk kepentingan pribadi oleh awak atau penumpang kapal pribadi atau pesawat yang diarahkan di laut tinggi terhadap lain kapal, pesawat, atau terhadap orang atau properti di papan sebuah kapal atau pesawat udara. Pembajakan juga dapat dilakukan terhadap kapal, pesawat, orang, atau properti di tempat di luar yurisdiksi negara mana pun.
Dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) tahun 1982, "pembajakan maritim" terdiri dari:
A. Tindakan illegal kekerasan atau penahanan, atau setiap tindakan pembinasaan, berkomitmen untuk kepentingan pribadi oleh awak atau penumpang kapal pribadi atau pesawat pribadi, dan diarahkan:
i. Di Laut Lepas, terhadap kapal atau pesawat udara lain, atau terhadap orang atau properti di kapal seperti kapal atau pesawat udara;
ii. ) terhadap sebuah kapal, pesawat, orang atau properti di suatu tempat di luar wilayah hukum dari setiap Negara;
B. Setiap tindakan partisipasi sukarela dalam pengoperasian kapal atau pesawat dengan pengetahuan tentang fakta-fakta membuat kapal bajak laut atau pesawat udara;
C. Setiap tindakan menghasut atau sengaja memfasilitasi tindakan yang diuraikan dalam sub ayat (a) atau (b).
The International Maritime Bureau (IMB) mendefinisikan pembajakan adalah tindakan naik kapal apapun dengan maksud untuk melakukan pencurian atau kejahatan lain, dan dengan maksud atau kemampuan untuk menggunakan kekuatan sebagai kelanjutan dari tindakan itu.
Pembajakan yg berlayar di laut terhadap kapal transportasi tetap merupakan masalah yang signifikan (dengan kehilangan seluruh dunia diperkirakan US $ 13 hingga $ 16 miliar per tahun), khususnya di perairan antara Laut Merah dan Samudera Hindia , di lepas Somalia pantai, dan juga di Selat Malaka dan Singapura , yang digunakan oleh lebih dari 50.000 kapal komersial pertahun.
b. Konvensi tentang piracy
Kejahatan piracy diatur dalam beberapa konvensi Internasional diantaranya diatur dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) tahun 1982, The International Maritime Bureau (IMB), Convention on the High Seas atau Konvensi mengenai Laut Tinggi 1958 yang dibuat di Jenewa pada 29 April 1958 dan mulai berlaku pada tanggal 30 September 1962. Konvensi mengenai laut tinggi berisi aturan-aturan hukum internasional yang berkaitan dengan laut lepas.
c. Kewajiban Negara dari Konvensi
Dalam Konvensi mengenai laut tinggi 1958, disebutkan pada beberapa pasalnya mengenai kewajiban dari suatu Negara diantaranya :
Pasal 13
Setiap Negara wajib mengambil langkah-langkah efektif untuk mencegah dan menghukum pengangkutan budak di kapal yang berwenang untuk mengibarkan bendera, dan untuk mencegah penggunaan tidak sah atas bendera untuk tujuan itu. Setiap hamba berlindung pada kapal apapun, apapun benderanya,dan harus bebas
Pasal 14
Semua negara harus bekerjasama sedapat mungkin dalam represi pembajakan di Laut Lepas atau di tempat lain di luar yurisdiksi setiap Negara.
Pasal 32
Konvensi ini harus diratifikasi dan harus disimpan di Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar