Selasa, 27 September 2011

KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM




1.1  Latar Belakang
Pemimpin adalah orang yang menjalani kepemimpinan. Selama ini banyak sekali kekeliruan pemahaman tentang arti kepemimpinan. Pada umumnya orang melihat pemimpin adalah sebuah kedudukan atau posisi semata. Akibatnya banyak orang yang mengejar untuk menjadi seorang pemimpin dengan menghalalkan berbagai cara dalam mencapai tujuan tersebut. Mulai dari membeli kedudukan dengan uang, menjilat atasan, menyikut pesaing / teman. Ataupun cara lain demi mengejar posisi pemimpin. Akibatnya, hal tersebut melahirkan pemimpin yang tidak dicintai, tidak disenangi, tidak ditaati dan bahkan dibenci.

            Dalam Al-Qur’an banyak dijumpai istilah-istilah kepemimpinan antara lain : Amir, Khalifah, Imamah dsb. Hal ini berarti Islam telah lebih dahulu mengetahui dan menetapkan mengani asas-asas kepemimpinan jauh sebelum para ahli Barat membahasnya. Namun, berbagai teori yang digambarkan para ahli mengenai kepemimpinan tak jarang membuat orang tidak memahami akan arti sebenarnya tentang kepemimpinan dalam Islam. Sehingga pemimpin masa kini, tak jarang telah lari dari arti kepemimpinan dalam Islam.

            Gaya kepemimpinan yang melanggar garis ketetapan Allah tersebut, hanyalah menumbuhkan anarkisme dan keganasan hawaniah sebagaimana disebutkan oleh Thomas Hobbes ”Homo Homini Lupus, Bulkum Omhium Contra Omnus” ”Manusia Akan Menjadi Pemangsa Manusia Yang Lainnya”.

            Semua orang ingin jadi pemimpin, Ribuan orang mengharapkan dirinya menjadi seorang pemimpin. Mereka tidak pernah merasa bahwa sebenarnya dirinya adalah seorang pemimpin. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah: “bahwa setiap manusia adalah pemimpin/khalifah dimuka bumi”.  Hampir setiap orang menjadi pemimpin di lingkungannya masing-masing. Terlepas dari besar kecilnya jumlah orang dalam kelompok tersebut. Bahkan seorang manusia pun harus memimpin dirinya sendiri untuk mengarahkan hidupnya.

            Seringkali orang memahami kepemimpinan dalam arti sempit sekali. Sehingga mereka mengetahui kepemimpinan adalah para pemimpin negara, wilayah, perusahaan dsb. Ketidak sadaran inilah yang mengakibatkan orang tidak mau mengembangkan ilmu kepemimpinannya. Ditambah dengan jargon-jargon seperti : ”Saya ini rakyat kecil”, padahal ia adalah seorang tukang becak hebat yang memimpin keluarganya dirumah. Yang bisa menciptakan anak-anaknya untuk menjadi pemimpin yang besar. Sebagai seorang khalifah (pemimpin) dimuka bumi, sebagaimana Firman Allah ”Dan tatkala Tuhanmu berfirman kepada para malaikat ’Aku hendak jadikan Khalifah di muka bumi’”. (QS. Al-Baqarah Ayat 30)

            Dalam ayat tersebut, Allah SWT telah menggambarkan bahwasanya mausia telah diciptakan untuk menjadi pemimpin dimuka bumi (dalam arti sempit dipahami sebagai pemimpin diri sendiri). Namun, permasalahan yang terjadi, sudahkah semua pemimpin di dunia ini mencerminkan konsep kepemimpinan sebagaimana yang digambarkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam tingkah laku dan keteladanan hidupnya ? Lalu, sebenarnya bagaimana konsep kepemimpinan yang ditawarkan dalam Islam ?

            Di Indonesia sendiri terjadi banyak masalah dalam hal kepemimpinan, seperti mentalitas pemimpin yang buruk sehingga mereka khianat terhadap amanat rakyat dan melakukan korupsi yang merugikan rakyat banyak, sehingga para calon pemimpin Indonesia seharusnya lebih memahami konsep kepemimpinan dalam Islam.




DESKRIPSI PEMIMPIN


2.1 Pengertian Pemimpin Dalam Konsep Islam
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu uswatun hasanah (suri teladan yang baik) bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” [QS. Al-Ahzaab: 21]

Kepemimpinan berasal dari kata pemimpin, yang artinya adalah orang yang berada di depan dan memiliki pengikut, baik orang tersebut menyesatkan atau tidak. Ketika berbicara kepemimpinan maka ia akan berbicara mengenai prihal pemimpin, orang yang memimpin baik itu cara dan konsep, mekanisme pemilihan pemimpin, dan lain sebagainya. Terdapat ragam istilah mengenai Kepemimpin ini, adanya yang menyebutkan Imamah dan ada Khilafah. Masing–masing kelompok Islam memiliki pendefinisian berbeda satu sama lain, namun ada juga yang menyamakan arti Khilafah dan Imamah. Seorang ulama bernama Syekh Abu Zahra dari kelompok Sunni menyamakan arti Khilafah dan Imamah. Ia berkata, ”Imamah itu disebut juga sebagai Khilafah. Sebab orang yang menjadi khilafah adalah penguasa tertinggi bagi umat Islam yang menggantikan Rasul SAW. Khalifah itu juga disebut sebagai Imam (pemimpin) yang wajib ditaati. Manusia berjalan di belakangnya, sebagaimana manusia shalat di belakang imam.”
Kelompok Syiah dalam hal kepemimpinan membedakan pengertian antara khilafah dan Imamah. Hal ini dapat dilihat berdasarkan fakta sejarah kepemimpinan dalam Islam setelah Rasulullah SAW wafat. Kelompok Syiah sepakat bahwa pengertian Imam dan Khilafah itu sama ketika Ali Bin Abi Thalib diangkat menjadi pemimpin. Namun sebelum Ali menjadi pemimpin mereka membedakan pengertian Imam dan Khilafah. Abu Bakar, Umar Bin Khattab, dan Utsman adalah Khalifah, namun mereka bukanlah Imam. Secara implisit kaum Syi’ah meyakini bahwa khalifah hanya melingkupi ranah jabatan politik saja, tidak melingkupi ranah spiritual keagamaan. Sedangkan Imamah melingkupi seluruh ranah kehidupan manusia baik itu agama dan politik. memimpin segala bidang baik itu spiritual maupun politik dalam kehidupan bermasyarakat.
2.1.1 Pemimpin yang didambakan
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang didambakan oleh setiap umat manusia Pemimpin tersebut harus memiliki tingkat pengetahuan yang sama dengan Rasulullah SAW, dan juga pemimpin tersebut harus bebas dari segala bentuk dosa kecil apalagi besar (ma’sum). Akan tetapi ia bukanlah menjadi seorang nabi, karena tidak ada risalah baru yang disampaikan. Islam telah menjadi agama yang sempurna, namun masih di butuhkan orang yang dapat menjaga risalah Islam dan membuat ummat Islam mudah untuk mencapai tujuannya. Tugas seorang pemimpin ini adalah mengawasi, memimpin, dan memperhatikan ummat Islam.
Pemimpin setelah Rasul harus memiliki kualitas spiritual yang sama dengan Rasul. Karena pemimpin merupakan patokan atau rujukan umat Islam dalam beribadah setelah Rasul. Oleh sebab itu ia haruslah mengetahui cita rasa spritual yang sesuai dengan realitasnya, agar ketika menyampaikan sesuatu pesan maka ia paham betul akan makna yang sesungguhnya dari realitas (cakupan) spiritual tersebut. Ketika pemimpin memiliki kualitas spiritual yang sama dengan rasul maka pastilah ia terbebas dari segala bentuk dosa.
Kemudian seorang pemimpin haruslah juga memiliki sifat adil. Rasulullah SAW pernah berkata bahwa, ”Karena keadilanlah, maka seluruh langit dan bumi ini ada.”[15] Imam Ali Bin Abi Thalib mendefiniskan keadilan sebagai menempatkan sesuatu pada tempatnya yang layak. Keadilan bak hukum umum yang dapat diterapkan kepada manajemen dari semua urusan masyarakat. Keuntungannya bersifat universal dan serba mencakup. Ia suatu jalan raya yang melayani semua orang dan setiap orang.[16] Penerapan sifat keadilan oleh seorang pemimpin ini dapat dilihat dari cara ia membagi ruang-ruang ekonomi, politik, budaya, dsb pada rakyat yang dipimpinnya. Misalkan tidak ada diskriminasi dengan memberikan hak ekonomi (berdagang) pada yang beragama Islam, sementara yang beragama kristen tidak diberikan hak ekonomi, karena alasan agama. Terkecuali memang dalam berdagang orang tersebut melakukan kecurangan maka ia diberikan hukuman, ini berlaku bagi agama apapun.

2.2 Dasar Kepemimpinan Dalam Islam
Allah menciptakan manusia sebagai master piece dan sesempurnanya ciptaan (ahsani taqwim), bahkan malaikat tidak memiliki potensi Allah pada manusia. Hal ini tersirat dari kisah Kosmos Teologis tentang bagaimana Allah menciptakan Adam sebagai pemimpin di muka bumi (QS. Al-Baqarah 30-33). Manusia bisa dikatakan makhluk intelektual karena dilengkapi dengan otak, kemudian juga bisa dikatakan makhluk berkarakter karena memiliki akhlak. Manusia terlahir sebagai KHALIFAH FIL ARDH, tugasnya adalah menggali potensi kepemimpinan untuk memberikan pelayanan serta pengabdian yang diniatkan semata-mata karena amanah Allah. Sabda Rasulullah SAW ”Setiap orang adalah pemimpin dan kelak akan dimintakan pertanggungjawabannya berkaitan dengan kepemimpinannya”.
Rasulullah SAW bersabda : ”Pemimpin suatu kaum adalah pengabdi (pelayan) mereka” (HR. Abu Na'im). Pemimpin adalah pelayan ummat, orang yang bertugas dan diamanahkan untuk melaksanakan tugas-tugas dalam memimpin, membimbing dan mengajak umat kearah yang lebih baik dalam artian sama-sama membangun. Pemimpin juga diartikan sebagai perisai bagi rakyat, yang akan melindungi rakyat, sebagaimana Sabda Nabi Muhammad SAW : Dari Abi Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda : ”Sesungguhnya seorang pemimpin itu merupakan perisai, rakyat akan berperang di belakang serta berlindung dengannya. Bila ia memerintah untuk takwa kepada Allah azza wa jalla serta bertindak adil, maka ia akan memperoleh pahala. Namun bila ia memerintah dengan selainnya, maka ia akan mendapatkan akibatnya”.
Dalil lain juga menyatakan akan kewajiban adanya kepemimpinan dalam Islam, seperti : "Jika keluar tiga orang dalam satu perjalanan, maka hendaklah salah seorang dari mereka menjadi pemimpinnya." (HR. Abu Dawud dari Abu Sa'id dan Abu Hurairah).


2.3 Syarat-Syarat Kepemimpinan Dalam Islam
Sebagai muslim, saya dan kita tentunya, seyogyanya kita pilih yang sesuai dengan syariah islam, karena itu merupakan landasan utama bagi penegakan kehidupan bangsa kita. Berikut adalah beberapa kriteria syarat-syarat pemimpin menurut syariah islam.

1.      Beriman dan beramal saleh. Ini sudah pasti tentunya.  Kita harus memilih pemimpin orang yang beriman, bertaqwa, selalu menjalankan perintah Allah dan rasulnya.  Karena ini merupakan jalan kebenaran yang membawa kepada kehidupan yang damai, tentram, dan bahagia dunia maupun akherat. Disamping itu juga harus yang mengamalkan keimanannya itu yaitu dalam bentuk amal soleh.
2.      Berilmu, Para pemimpin harus mempunyai ilmu baik ilmu dunia maupun ilmu akhirat. Karena dengan ilmu ini maka akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik dalam bentuk pembangunan fisik maupun spiritual, baik pemabanugnan infrastruktur maupun pembangunan manusianya itu sendiri.  Ilmu yang di dapat tidak harus melalui sekolah yang formal, tapi bisa di dapat dari mana saja yang penting bisa mengamalkan ilmunya itu dan nampak hasilnya ditengah-tengah masyarakat.
3.      Jujur.  seorang pemimpin tentunya harus jujur. Apa yang disampaikan kepada masyarakat tentunya harus dilaksanakan, dan apa yang dikatakannya harus sesuai hendakyan dengan perbuatannya.
4.      Tegas. Merupakan sikap seorang pemimpin yang selalu di idam-idamkan oleh rakyatnya. Tegas bukan berarti otoriter, tapi tegas maksudnya adalah yang benar katakan benar dan yang salah katakan salah serta melaksanakan aturan hukum yang sesuai dengan Allah, SWT dan rasulnya.
5.      Amanah, bertanggung jawab. Maksudnya adalah melaksanakan aturan-turan yang ada dengan sebaik-baiknya dan bertanggungjawab terhadap peraturan yang telah dibuat.  Dan tentunya peraturan yang dibuat itu yang berpihak kepada rakyat.




2.4 Akhlak Kepemimpinan Bagi Wanita Dalam Islam
Pada dasarnya Allah menciptakan manusia, baik laki-laki maupun perempuan, semata-mata bertujuan untuk bertaqwa  kepada-Nya. Islam datang membawa ajaran yang sempurna, persamaan, dan tanpa ada diskriminasi antara jenis kelamin yang berbeda sehingga laki-laki tidak lebih tinggi dari perempuan. Dengan demikian, Islam tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan baik dalam hal kedudukan, harkat, martabat, kemampuan, dan -kesempatan untuk berkarya.

Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah perempuan merupakan anggota dari
masyarakat. Secara biologis perempuan berbeda dengan laki-laki, tetapi dari segi hak dan kewajiban sebagai manusia sama. Jadi, keberadaan perempuan bukan sekadar pelengkap bagi laki-laki, melainkan mitra sejajar dalam berbagai aspek kehidupan, baik yang bersifat domestik seperti rumahtangga maupun publik.

Namun demikian, kenyataan yang terjadi di masyarakat seringkali tidak sesuai dengan pernyataan di atas, di mana masih terjadi diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan. Anggapan tersebut diperkuat dengan adanya ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi tentang perempuan yang dipahami dan ditafsirkan secara bias dari satu sisi kepentingan.

 KESETARAAN GENDER DALAM ISLAM
Selama ini seolah-olah ada dilema mengenai kepemimpinan perempuan dalam Islam. Di satu sisi adanya anggapan bahwa aktivitas perempuan yang paling baik adalah di rumah, mengurus suami dan anak, memasak, membersihkan rumah, mencuci, dan kegiatan lain yang sifatnya domestik.

Di sisi lain, perempuan masa kini dituntut untuk aktif berkiprah di luar rumah. Apakah itu untuk bekerja, belajar ataupun melakukan kegiatan-kegiatan sosial. Oleh karena perempuan hanya tinggal di dalam rumah saja, maka ia akan dianggap ketinggalan informasi, kurang wawasan, dan kurang pergaulan.

Para ulama berbeda pendapat mengenai boleh atau tidaknya perempuan menjadi pemimpin. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, pertama, adanya pandangan bahwa laki-laki adalah pemimpin kaum perempuan. Kenyataan ini didukung oleh justifikasi dari al-Qur’an Surat An-nisa’ ayat 34. Ahli tafsir menyatakan bahwa qawwam berarti pemimpin, pelindung, pengatur, dan lain-lain. Keunggulan laki-laki disebabkan oleh keunggulan akal dan fisiknya, demikian ungkap al-Razy dalam Tafsir al-Kabir.

Disamping itu, al-Zamakhsari dalam Tafsir al-Kasysyaf mengungkapkan keunggulan laki-laki atas perempuan adalah karena akal, ketegasan, tekad yang kuat, kekuatan fisik, secara umum memilki kemampuan baca tulis, dan keberanian. Thaba’thaba’i mengungkapkan kelebihan laki-laki disebabkan oleh akalnya saja mampu melahirkan jiwa-jiwa seperti keberanian, kekuatan, dan kemampuan dalam mengatasi kesulitan. Sebaliknya, perempuan lebih sensitif dan emosional.

Oleh sebab itu, banyak tugas berat yang diembankan kepada laki-laki seperti sebagai nabi, imam, guru, dan sebagainya. Demikian juga dalam jihad, azan shalat Jum’at, dan wali perempuan tidak banyak dilibatkan dan tidak memliki otoritas. Said Agil al-Munawar dalam Republika, 1 April 2001 pernah mengkritik bahwa penafsiran terhadap alQur’an dan Hadis yang dilakukan terdahulu dipengaruhi situasi dan iklim politik patriarkat sehingga tafsir yang dihasilkannya mengandung bias gender.

Selama ini kita mengenal apa yang disebut dengan peran jenis (sex roles), yaitu perilaku atau kepribadian yang ditentukan oleh jenis kelamin, yang dibedakan atas tipe feminin dan tipe maskulin.Perilaku ini sebenarnya adalah sifat-sifat yang dapat dipelajari untuk meningkatkan aktivitas sesuai dengan peran yang diharapkan masyarakat terhadap jenis kelamin tertentu. Di sini budaya masyarakat sangat berpengaruh terhadap peran jenis seseorang.

Ada karaktristik kepribadian, tugas pekerjaan, dan kegiatan yang dianggap wajar bagi laki-laki dan lainnya wajar bagi perempuan.4 Sifat-sifat yang dikonstruksikan
oleh masyarakat ini yang kemudian melekat pada individu Stereotip perempuan dalam psikologi adalah pasif, emosional, penurut, dan penyayang. Inilah yang membenarkan sektor domestik perempuan dan dianggap nature-nya perempuan.

Demikian juga dalam kerangka sosio-biologis dapat diungkapkan bahwa otak laki-laki lebih besar dari perempuan sehingga laki-laki lebih cerdas, lebih sempurna, matang, dan jernih dibanding perempuan. Repotnya hal-hal tersebut bagi perempuan dianggap sebagai kodrat yang tidak bisa diubah.Konsep qawwam dalam al-Qur’an surat Annisa’ : 34 adalah laki-laki sebagai pemimpin perempuan dalam lingkup rumah tangga. Hal ini ditegaskan dengan kewajiban laki-laki untuk memberi nafkah kepada perempuan.

Pemberian nafkah hanya dilakukan suami kepada istrinya dan tidak ada kewajiban
untuk menafkahi wanita selain istrinya. Ibn Katsir, Ibn Arabi, dan al-Maraghi mempunyai titik kesamaan terkait dengan kelebihan antara laki-laki terhadap perempuan, yaitu kemampuan laki-laki memberi nafkah kepada perempuan sehingga jika laki-laki tidak sanggup lagi memberi nafkah kepada istrinya maka istri dapat mengambil alih peran qawwam ini5. Oleh karena itu, ayat tersebut tidak bisa digunakan untuk melarang perempuan tampil sebagai pemimpin publik seperti seperti presiden atau yang lainnya.

Kalimat Arrijal qawwamun ala an-nisa yang terdapat dalam ayat tersebut selalu menjadi salah satu dasar normatif superioritas laki-laki atas perempuan. Kalimat ini sering diartikan kewajiban laki-laki untuk dijadikan sebagai seorang pemimpin bagi perempuan dalam segala urusan, baik itu urusan domestik apalagi urusan publik.

Kedua, pelarangan kepemimpinan perempuan juga didasarkan pada Hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Bukhori ketika beliau mendengar berita bahwa masyarakat Persi telah memilih putrid Kisra sebagai pemimpin kemudian Nabi bersabda yang artinya apabila suatu kaum menyerahkan urusannya kepada perempuan maka rusaklah kaum itu.
Hadis tersebut dipahami jumhur ulama sebagai isyarat bahwa perempuan tidak diperbolehkan menjadi pemimpin dalam urusan pemerintahan atau politik, seperti presiden, perdana menteri, hakim,dan jabatan politik lainnya. Selanjutnya, mereka mengungkapkan bahwa perempuan secara syara’ hanya diberi tanggung jawab untuk menjaga harta suaminya.

Dalam memahami Hadis tersebut perlu dicermati keadaan yang sedang berkembang pada saat hadis tersebut disabdakan, atau harus melihat setting social-nya. Oleh karena itu, mutlak diperlukan informasi yang memadai mengenai latar belakang kejadiannya.

Sebelum kejadian itu, kerajaan Persia dilanda kekacauan dan pembunuhan yang dilakukan oleh kerabat raja sehingga diangkatlah seorang perempuan yang bernama Buwaran binti Syairawaih bin Kirasebagai ratu di Persia. Hal tersebut karena ayah dan saudara laki-laki Buwaran telah mati terbunuh.

Peristiwa ini terjadi pada tahun 9 H. Menurut tradisi yang berlangsung di Persia saat itu jabatan kepala negara (raja) dipegang oleh laki-laki. Pengangkatan Buwaran sebagai ratu bisa dikatakan menyalahi tradisi karena yang diangkat bukan laki-laki melainkan perempuan. Pada waktu itu derajat kaum perempuan berada di bawah kaum laki-laki,di mana perempuan sama sekali tidak dipercaya untuk ikut serta mengurus kepentingan umum,terlebih masalah negara.

Pandangan ini tidak saja terjadi di Persia, melainkan di seluruh jazirah Arab. Dengan setting social yang seperti itu wajarlah Nabi yang memiliki kearifan tinggi bersabda seperti hadis di atas bahwa barang siapa yang menyerahkan urusan kepada perempuan tidak akan sukses.
Bagaimana mungkin akan sukses jika orang yang memimpin itu adalah orang yang tidak dihargai oleh masyarakat yang dipimpinnya. Salah satu syarat untuk menjadi seorang pemimpin adalah kewibawaan, sedangkan perempuan pada saat itu perempuan tidak memiliki wibawa untuk menjadi pemimpin.

Lebih lanjut kita lihat ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara mengenai hubungan antara perempuan dan laki-laki yang dikelompokkan menjadi delapan, yakni:
1. Statemen umum tentang kesetaraan perempuan dan laki-laki (2: 187, 2: 228)
2 Kesetaran asal-usul (4:1, 49:13)
3. Kesetaraan aural ganjaran(3: 195, 4: 32, 9: 72)
4. Kesetaraan untuk saling mengasihi dan mencintai (17: 24, 30: 21, 46: 15)
5. Keadilan dan persamaan (2: 22816: 97)
6. Kesejajaran dalam jaminan sosial (2: 177)
7. Saling tolong-menolong (9: 71,)
8. Kesempatan untuk mendapat pendidikan (8: 11, 39: 9)

Ayat-ayat al-Qur’an di atas dengan sangat gamblang menyebutkan bahwa hubungan laki-laki dan perempuan merupakan hubungan mitra sejajar dalam berbagai hal. Sudah tidak pada tempatnya lagi manakala perempuan diharuskan untuk mengikuti dan memerankan peran seperti di era yang dulu padahal telah terjadi perubahan waktu dan tempat yang sangat jauh berbeda.

Dengan demikian, tidak diragukan lagi ada dorongan ke arah kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam al-Qur’an. Bahwa al-Qur’an memberikan tempat yang terhormat kepada seluruh manusia yang mencakup dua jenis kelamin yaitu laki- laki dan perempuan. Perbedaan biologis tidak berarti menimbulkan ketidaksetaraan dalam kehidupan. Fungsi-fungsi biologis harus dibedakan dari fungsifungsi sosial.

Dalam kepemimpinan, nilai yang dianggap paling dominan adalah kualitas kepribadian yang meliputi kemampuan (ability), kecakapan (capacity), kesanggupan (faculty), dan kepandaian (skill). Kepemimpinan erat kaitannya dengan politik, dalam hal ini perempuan memiliki hak politik yang sama dengan kaum laki-laki. Hak politik perempuan artinya hak untuk berpendapat, untuk menjadi anggota lembaga perwakilan, dan untuk memperoleh kekuasaan yang benar atas sesuatu seperti memimpin lembaga formal, organisasi, partai dan negara.





SIMPULAN


            Pengertian pemeimpin menurut Islam terdapat beberapa pendapat. Kepemimpinan berasal dari kata pemimpin, yang artinya adalah orang yang berada di depan dan memiliki pengikut, baik orang tersebut menyesatkan atau tidak.

            Dasar kepemimpinan dalam Islam adalah Manusia terlahir sebagai KHALIFAH FIL ARDH, tugasnya adalah menggali potensi kepemimpinan untuk memberikan pelayanan serta pengabdian yang diniatkan semata-mata karena amanah Allah. Sabda Rasulullah SAW ”Setiap orang adalah pemimpin dan kelak akan dimintakan pertanggungjawabannya berkaitan dengan kepemimpinannya”.

Beberapa kriteria syarat-syarat pemimpin menurut syariah islam adalah beriman dan beramal saleh, berilmu, jujur, tegas, dan yang paling penting adalah amanah.

Akhlak kepemimpinan perempuan dalam Islam untuk saat ini tidak diragukan lagi ada dorongan ke arah kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam al-Qur’an. Bahwa al-Qur’an memberikan tempat yang terhormat kepada seluruh manusia yang mencakup dua jenis kelamin yaitu laki- laki dan perempuan. Perbedaan biologis tidak berarti menimbulkan ketidaksetaraan dalam kehidupan. Fungsi-fungsi biologis harus dibedakan dari fungsifungsi sosial.

Dalam kepemimpinan, nilai yang dianggap paling dominan adalah kualitas kepribadian yang meliputi kemampuan (ability), kecakapan (capacity), kesanggupan (faculty), dan kepandaian (skill). Kepemimpinan erat kaitannya dengan politik, dalam hal ini perempuan memiliki hak politik yang sama dengan kaum laki-laki. Hak politik perempuan artinya hak untuk berpendapat, untuk menjadi anggota lembaga perwakilan, dan untuk memperoleh kekuasaan yang benar atas sesuatu seperti memimpin lembaga formal, organisasi, partai dan negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar