Selasa, 27 September 2011

SEJARAH PERTUMBUHAN HUKUM EROPA KONTINENTAL, KHUSUSNYA DALAM HUKUM BELANDA DAN PRANCIS.


SEJARAH PERTUMBUHAN HUKUM EROPA KONTINENTAL, KHUSUSNYA DALAM HUKUM BELANDA DAN PRANCIS.
Eropa barat itu terdiri dari beberapa Negara seperti Belgia, Belanda, Jerman, Prancis. Tetapi yang akan kami kemukakan, khususnya mengenai sejarah pertumbuhan hukum Belanda/Prancis, oleh sebab :
1.      Walaupun Eropa Kontinental itu terdiri dari beberapa Negara, dan masing-masing mempunyai sistem hukum yang tersendiri, tetapi antara sistem-sistem hukum tersebut ada persamaannya, berhubung mereka itu pada umumnya meresepsi hukum Romawi. Dengan demikian apabila kami khusus menguraikan sejarah pertumbuhan hukum Belanda dan Prancis, maka kiranya dapat hal itu menggambarkan sejarah pertumbuhan hukum Eropa Kontinental pada umumnya.
2.      Hukum Belanda dan Prancis itu ada hubungan dengan hukum positif Indonesia, sebab antara Indonesia dan Belnda terdapat pertautan sejarah, sebagai akibat penjajahan Belanda.
Seperti halnya di Inggris, maka di Eropa Kontinental pun hukum mereka pada mulanya berasal dari hukum kebiasaan. Di Prancis kita kenal hukum kebiasaan yang dinamakan “Droit de Coutumes”, sedangkan di negeri Belanda kita kenal “Gewoonterecht”. Dengan adanya resepsi hukum Romawi maka disana perkembangan hukum kebiasaan menjadi terputus.
Sebagaimana kita ketahui pada zaman jayanya kerajaan Romawi, eropa Barat dan Eropa Tenggara termasuk kedalam wilayah kekuasaan kerajaan Romawi. Dengan adanya penjajahan Romawi tersebut, maka hukum Romawi itupun dikenal oleh mereka. Hukum Romawi dianggap sebagai Ratio Sripta. Oleh sebab itu lama-kelamaan di daerah Eropa itu terjadi resepsi hukum Romawi, sehingga kemudian hukum Romawi itu tidak lagi dirasakan sebagai hukum asing.
Resepsi hukum Romawi kedalam hukum Eropa Barat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :
1.      Mulai abad pertengahan banyak mahasiswa-mahasiswa dari Eropa Barat dan Utara belajar di Universitas-universitas di Itali dan Prancis selatan. Pada zaman ini yang dipelajari oleh ahli hukum hanya hukum Romawi.
2.      Adanya kepercayaan pada hukum alam yang azasi, yang dianggap sebagai suatu hukum yang sempurna dan berlaku bagi setiap tempat dan waktu (zaman). Oleh karena mereka yang menerima hukum alam itu tidak dapat melepaskan dirinya dari hukum Romawi, maka biasanya mereka menyamakan hukum alam itu dengan hukum Romawi.
Sebelum unifikasi hukum oleh Napoleon Bonaparte di seluruh Prancis berlaku hukum Germania disamping hukum Romawi. Bagian Utara dan Tengah merupakan daerah hukum local (pays de droit coutumier) dan bagian Selatan merupakan daerah hukum Romawi (pays de droit eerit). Hukum yang berlaku dibagian Utara dan Tengah adalah hukum kebiasaan Prancis kuno yang tumbuh sebagai hukum local yang berasal dari hukum Germania. Hukum yang berlaku dibagian Selatan terutama hukum Romawiyang telah mengalami kodifikasi dalam Corpus Iuris Civilis dari Justianus.
Mengenai perkawinan di seluruh wilayah negeri Prancis berlaku hukum yang ditetapkan oleh Gereja Katholik Roma yaitu hukum kanonik, dalam Codex Iuris Canonici. Begitulah keadaan hukum di Prancis sebelum diadakan kodifikasi, yaitu tidak ada kesatuan hukum.
Pada waktu pemerintahan Louis XV, pada akhir abad 17 dan bagian pertama abad 18, meskipun cita-cita untuk membukukan seluruh hukum perdata dalam “Corps de Lois”, belum berhasil tetapi terbentuklah tiga buah ordonansi mengenai hal-hal yang khusus. Ketiga ordonansi itu dinamai Ordonansi Daguesseau, karena di buat oleh kanselir dari raja Louis XV, yang bernama Daguesseau, ordonansi-ordonansi tersebut adalah :
a.       L’ordonance sur les donations (1731).
b.      L’ordonance sur les testaments (1735).
c.       L’ordonance sur les substitutions fideicommisaires (1747).
Pada tanggal 12 agustus 1800, Napolen Bonaparte membentuk suatu panitia yang bertugas membuat kodifikasi yang terdiri dar Portalis, Trouchet, Bigot de Preameneu, dan Malleville. Yang menjadi sumber kodifikasi ialah :
1.      Tulisan-tulisan Pothier, Domat, Bourjon.
2.      Hukum kebiasaan, terutama kebiasaan Paris.
3.      Ordonansi-ordonansi Gaguesseau.
4.      Hukum yang dibentuk  sejak revolusi Prancis sampai terbentuknya kodifikasi, yaitu hukum Intermediaire (hukum sementara waktu).
Hukum yang bahan-bahannya diperoleh dari sumber-sumber tersebut terdiri dari campuran azas-azas hukum Romawi, Germania dan azas-azas hukum Gereja (hukum kanonik). Kodifikasi hukum Prancis yang terbentuk pada tanggal 21 maret 1804 dengan nama “Code Civil des Francais”, pada tahun 1807 diundangkan lagi dengan nama “Code Napoleon”.
BELANDA adalah salah satu Negara yang pernah dijajah oleh Prancis antara tahun 1806-1813 sehingga akibat itu disana berlaku pula Code Prancis. Setelah belanda merdeka pada tahun 1813, maka berdasarkan pasal 100 UUD Belanda tahun 1814, dibentuklah suatu panitia yang bertugas membuat rencana kodifikasi hukum Belanda yang diketuai oleh Mr.J.M.Kemper (1776-1824), yang pada tahun 1916 menyampaikan suatu rencana kodifikasi pada raja Belanda. Rencana tersebut didasarkan atas hukum Belanda kuno, sehingga tidak disetujui oleh para ahli hukum Belgia yang hendak mendasarkan kodifikasi pada “Code Napoleon”(pada waktu itu negeri Belanda dan Belgia bersatu).
Pada tanggal 22 november 1820 rencana Kemper ini setelah mendapat perobahan sedikit (tapi masih didasarkan atas hukum Belanda kuno), disampaikan pada Parlemen Belanda yang terkenal dengan nama “Ontwerp Kemper”. Ontwerp Kemper ini mendapat tantangan keras dari anggota-anggota bangsa Belgia yang dipimpin oleh Presiden pengadilan tinggi Belgia P.Th.Nicolai.
Karena Kemper meninggal dunia pada tahun 1824, maka selanjutnya pembuatan kodifikasi hukum perdata dipimpin oleh Nicolai. Nicolailah yang menyebabkan pembentukan kodifikasi hukum Belanda sebagian besar bersumberkan pada Code Napoleon dan hanya sebagian sangat kecil saja yang berdasarkan pada hukum Belanda kuno. Kodifikasi hukum perdata Belanda baru dapat diresmikan pada tahun 1838.
Meskipun kodifikasi hukum perdata Belanda itu bagian terbesar meniru Code Civil Prancis, tapi susunan yang terdiri dari empat buku itu tidak berasal dari Code Civil Prancis (yang terdiri dari tiga kitab), melainkan meniru susunan dari Instituones dalam Corpus Iuris Civilis.
Kalau tadi hukum perdata Belanda/Prancis, banyak meresepsi hukum Romawi, maka tidak demikian halnya dengan Hukum Dagang. Perkembangan hukum dagang (1000-1500), ditandai dengan di Prancis Selatan dan Itali lahir kota-kota sebagai pusat perdagangan internasional.
Ternyata bahwa hukum Romawi tidak dapat member penyelesaian untuk perkara-perkara yang ditimbulkan oleh perniagaan pada waktu itu lebih modern sifatnya. Karena itu di kota-kota Eropa tersebut dibuatlah peraturan-peraturan hukum baru, yang lama kelamaan menjadi himpunan peraturan-peraturan hukum yang berdiri sendiri. Hukum yang baru ini menjadi hukum bagi golongan pedagang, yang dinamakan hukum dagang. Inilah permulaan daripada timbulnya kaedah-kaedah Hukum Perdata Internasional.
Sampai meletusnya revolusi Prancis, hukum dagang itu hanya berlaku bagi pedagang saja, karena golongan pedagang itu merupakan suatu kelas yang tertutup yang dinamakan Gilde.
Perkembangan hukum dagang ini sangat cepat sekali. Ternyata bahwa pada abad ke-16 dan ke-17 banyak kota-kota di Prancis mengadakan pengadilan istimewa hanya untuk menyelesaikan perkara-perkara yang ditimbulkan dalam lapangan perniagaan, sehingga dinamakan pengadilan saudagar. Dengan adanya pengadilan saudagai ini maka hukum dagang itu menjadi hukum istimewa yaitu hukum kaum pedagang.
Hukum dagang ini pada mulanya belum ada kesatuan, tetapi lama-kelamaan diadakan kesatuan hukum dagang. Karena hubungan dalam perniagaan internasional makin erat. Sehingga pada abad ke-17 di Prancis diadakan kodifikasi hukum dagang.
Oleh Colbert dibuat Ordonance du Commerce (1678), yang mengatur hukum dagang yang hanya berlaku bagi pedagang. Kemudian pada tahun 1681 diadakan Ordonance de la Marine yang mengatur hukum perniagaan laut.
Sesudah revolusi Prancis, gilde itu dihapuskan. Maka sejak itu tidak ada alasan untuk mengadakan pemisahan antara hukum perdata yang berlaku umum bagi tiap penduduk Prancis, dengan hukum yang berlaku bagi pedagang saja, apalagi karena hukum dagang ini kemudian banyak digunakan oleh bukan saudagar.
Meskipun demikian pemisahan antara hukum dagang dengan hukum perdata masih juga diteruskan. Pada tahun 1807 dibuat suatu undang-undang hukum dagang yaitu  Code de Commerce, disamping Code Civil des Francais. Yang menjadi dasar dari Code de Commerce itu antara lain Ordonance de la Marine dan Ordonance du Commerce.
Pada tahun 1811-1838 kodifikasi hukum Prancis berlaku di negeri Belanda. Setelah Belanda merdeka pada tahun 1813, maka berdasarkan pasal 100 UUD tahun 1814, dibentuklah sendiri hukum dagang dan hukum perdata Belanda. Hukum dagang ini mulai berlaku pada tahun 1838, yang hanya berlaku bagi pedagang saja. Tetapi sejak pertengahan kedua abad ke-19, hukum dagang ini dianggap berlaku juga bagi bukan pedagang.
Baik kodifikasi hukum Prancis, meskipun kodifikasi hukum Belanda dimaksudkan agar supaya ada kepastian hukum. Karena itu dibuatlah kodifikasi supaya tidak ada hukum diluar undang-undang (faham legisme).
Revolusi Prancis kita kenal sebagai suatu revolusi yang menumbangkan kekuasaan absolut dari raja-raja yang sebelumnya terjadi revolusi sangat merajalela, sedangkan dilain pihak hak rakyat sungguh tidak seimbang dengan kemutlakan raja. Sehingga revolusi Prancis merupakan akibat daripada aliran pikiran liberal, yang berpokok pada paham, bahwa manusia itu dilahirkan bebas dan masing-masing mempunyai hak yang sama. Aliran pikiran Liberalisme ini sangat besar pengaruhnya di Eropa, dan Amerika, dengan semboyannya “Laissez faire, laissez passer”.
 Aliran pikiran ini menjelma dalam pembentukan hukum yang terjadi setelah revolusi Prancis, seperti misalnya pembentukan kodifikasi hukum Prancis, maupun kodifikasi hukum Belanda yang meniru dari Prancis.
Sifat individualistis ini dapat kita lihat misalnya pada ketentuan hak milik dalam hukum perdata Belanda dimana hak milik itu merupakan hak mutlak dan orang bebas menggunakan miliknya. Misalnya dapat kita lihat pada Lantaarnpaal arrest, 14 Maret 1904, dimana pada waktu itu hak milik masih begitu mutlak dan hakimnya pun masih individualistis. Sehingga perbuatan kotapraja yang pada waktu itu memerintahkan penyediaan kurang lebih satu meter persegi tanah dari seorang pemilik tanah untuk menancapkan tiang lentera untuk penerangan jalan umum, oleh hakim dianggap bertentangan dengan undang-undang, karena membatasi hak milik perseorangan.
Di Eropa sejak sekitar tahun 1900 hubungan-hubungan sosial telah mengalami perubahan yang besar sekali. Anggapan hidup yang individualistis telah diganti dengan anggapan hidup yang lebih sosialistis.
 Dalam bidang hukum pun terjadi pembaharuan yaitu dengan terjadinya penyosialan hukum, yang berpendapat bahwa tiap-tiap kaidah hukum itu hendaknya sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Sehingga hak milik itu harus dipergunakan sesuai dengan kepentingan masyarakat.
Dengan demikian karena adanya perubahan srtuktur masyarakat yang melahirkan suatu struktur masyarakat baru, maka dirasakan perlunya perubahan kodifikasi yang telah ada. Perubahan kodifikasi di Prancis dan Belanda mula-mula terjadi dengan adanya yurisprudensi yang melengkapi kodifikasi.
Di Prancis misalnya terdapat putusan dari Pengadilan Tinggi Colmar tanggal 2 Mei tahun 1855, yang menyatakan bahwa hak seseorang itu tidak boleh digunakan sampai mengganggu orang lain, tanpa adanya kepentingan yang layak. Juga dinegeri Belanda kita kenal arrest 31 Januari 1919, yang memutuskan bahwa perbuatan melawan hukum itu bukan saja perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga perbuatan yang bertentangan dengan kaedah sosial lainnya, seperti kesusilaan seperti azas-azas pergaulan kemasyarakatan mengenai penghormatan pada orang lain atau pada barang orang lain.
Kemudian mengenai hak milik terdapat arrest 8 November 1937 “Gelderse Reclameverordening”, yang mengizinkan penebangan-penebangan pohon dan tamanan lain, apabila tanaman itu membahayakan keamanan umum.
Jadi yurisprudensi tadi merupakan pelengkap daripada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam kodifikasi yang selalu terbelakang oleh perkembangan zaman, sehingga tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan.
Maka keadaan masyarakat sesudah perang dunia ke-II telah begitu berubah, juga kodifikasi Belanda sendiri mengalami perubahan dengan mulai diubahnya sebagian dari B.W tahun 1938 dengan B.W tahun 1951, yang merupakan konsepsi Meyyers yang terkenal.
Dengan demikian di negeri Belanda, kita melihat cara pembentukan hukum yang “terbalik” daripada cara-cara yang dipergunakan di Inggris. Sebab di negeri Belanda ini pada mulanya kodifikasi, jadi undang-undang, merupakan satu-satunya sumber hukum.(legisme). Tetapi terdesak oleh kebutuhan-kebutuhan yang baru, kini kodifikasi tidak lagi dianggap sebagai produk yang mengatur masyarakat secara lengkap dan sempurna.
Pengalaman membawa pengakuan, bahwa juga didalam kodifkasi terdapat “Leemten”, terdapat hal-hal yang belum diatur. Hal mana adalah wajar sesungguhnya, oleh karena ratio manusiapun juga tidak sempurna adanya. Akibat terlalu tegangnya undang-undang dan kodifikasi itu yurisprudensi datang membantu memerdekakan kegelisahan masyarakat, mula-mula dengan penggunaan fiksi-fiksi, tetapi mulai dengan arrest yang terkenal mengenai perbuatan yang melawan hukum itu diakuilah penggunaan penafsiran secara teleologis.
Sekalipun di negeri Belanda tidak berlaku azas “Stare Decisis”, akan tetapi adanya kontrol tidak langsung oleh Pengadilan-pengadilan yang lebih tinggi terhadap Pengadilan yang lebih rendah, ternyata dapat menjamin suatu “Vaste Jurisprudentie” di negeri itu.
Kemudian segala pembaharuan oleh yurisprudensi ini diakui, dan disempurnakan lagi dengan perubahan B.W dalam tahun 1951. Sehingga juga di negeri Belanda dan Eropa Kontinental pada umumnya, sekalipun bertitik tolak pada cara pembentukan hukum yang lain daripada sistem hukum Inggris, namun disitupun hukum, selain terdapat dalam undang-undang, kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah yang berdasarkan hukum yang berlaku, juga dalam yurisprudensi dan hukum kebiasaan.
Ini berarti bahwa jika kita hendak mengetahui hukumnya mengenai suatu hal yang tertentu, maka tidak cukuplah untuk hanya melihat kepada undang-undang saja. Sebaliknya, ketentuan dalam undang-undang ini harus ditinjau dalam hubungan dengan yurisprudensi tertentu mengenai hal yang bersangkutan ini. Inilah yang akan menunjukan keadaan hukum yang sebenarnya.




SEJARAH PERTUMBUHAN HUKUM ADAT

Istilah hukum adat adalah terjemahan dari Istilah bahasa Belanda “Adatrecht”, yang pertama kali digunakan oleh Snouck Hourgronje.  Istilah adatrecht ini kemudian dikutip dan dipakai oleh Cornelis van Vollenhoven. Sedangkan oleh pemerintah Belanda istilah adatrecht itu baru digunakan pada tahun 1929, ketika mengadakan perubahan mengenai pasal 134 IS.
Dari istilah tersebut teranglah bahwa hukum adat dahulu disamakan dengan undang-undang agama  atau hukum keagamaan. Hal ini terjadi terutama disebabkan oleh pengaruh seorang sarjana hukum yang bernama Van der Berg, yang mengemukakan teori Receptio in Complexu.
Menurut teori tersebut maka hukum suatu golongan masyarakat adalah hasil penerimaan sepenuhnya dari hukum agama yang dianut oleh golongan masyarakat itu. Akibatnya terjadilah kekeliruan, yang menyamakan hukum adat dengan hukum agam Islam. Van Vollenhovenlah yang menunjukkan kesalahpahaman tersebut dan mengemukakan bahwa dalam hukum adat ada anasir agama, tetapi anasir ini tidak merupakan bagian besar dari hukum itu.
Hukum adat ialah bagian daripada tata hukum Indonesia yang tumbuh dan terjadi sebagai akibat pola kebudayaan dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang hidup di kepulauan Indonesia. Kaidah-kaidah tersebut ditaati oleh anggota-anggota masyarakat berbagai-berbagai persekutuan hukum yang ada di wilayah kepulauan Indonesia kita ini dan merupakan hukum pada waktu bangsa-bangsa asing menginjakan kakinya di bumi kita ini. Sebagai hukum yang berlaku, sudah tentu hukum adat itu telah mengalami dan terus akan mengalami perubahan, sesuai dengan perubahan zaman, pengalamn-pengalaman sejarah dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat dari zaman ke zaman.
Demikianlah maka hukum adat, sebagai akibat dari perkenalan bangsa kita dengan agama Islam, akhirnya juga meresepsikan unsur-unsur hukum Islam kedalam hukum adat kita, terutama dalam bidang hidup kekeluargaan, yang begitu erat hubungannya dengan filsafah agama yang kita anut.
Proses yang derupa dapat kita konstatir pada waktu ini juga, yaitu dalam dunia perdagangan, tampaknya mau tidak mau dan tanpa disadari benar-benar, telah meresepsikan unsur-unsur hukum Belanda dan Inggris-Amerika kedalam hukum nasional kita.
Disinilah tampak juga bahwa seseungguhnya antara hukum adat dan hukum Nasional kita tidak ada perbedaan yang prisipil. Sebab kalau dalam abad ke-17 hukum adat kita merupakan hukum milik penduduk asli Indonesia, maka kini pun hukum Nasional (harus) merupakan hukum milik bangsa Indonesia, yang dalam abad ke-20 ini telah tergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bahwa hukum adat bersumber pada adat, khususnya adat nanteradat atau adat yang diadatkan, adalah karena cara-cara pembentukan hukum nenek-nenek moyang kita tidak didasarkan pada pembuatan undang-undang yang tertulis oleh suatu pemerintahan pusat, akan tetapi pembentukan hukum adat itu terutama terjadi didesa-desa, secara local sebagai hukum-hukum kebiasaan.
Keadaan yang serupa ini juga terdapat di Inggris sampai abad ke-11, atau di negeri Belanda, sampai tercapainya unifikasi hukum, dengan timbulnya satu pemerintahan pusat yang kuat, atas dasar UUD Belanda yang pertama pada tahun 1798, ketika masa Batfse Republiek (1795-1806), tetapi baru setelah mengalami pendudukan Prancis dibawah Louis Napoleon, negeri Belanda benar-benar menuju kepada kesatuan hukum dengan diundangkannya B.W pada tahun 1838. Juga di Swiss, hukumnya bersumber kepada adat, bahkan hingga kinipun di Swiss adat itu masih merupakan sumber hukum, berdasarkan pasal 1 ayat 2 Zivil Gezetzbuch, yang mengatakan bahwa hakim harus memberi putusan sesuai denagn “Gewohncits Recht”, apabila mengenai soal (perkara) yang dihadapinya tak ada ketentuan-ketentuan tertulis undang-undang yang mengaturnya.
Juga di Prancis sebelum Code Napoleon masih terdapat hukum beraneka warna yang bersumber pada adat setempat, yang disini namanya “Coustumes”. Sehingga dapat kita lihat, bahwa corak dan pembentukan hukum adat kita itu sama sekali tidak merupakan suatu gejala sui generis di dunia ini. Akan tetapi sifat tak tertulis dan keanekawarnaan hukum ini bertalian erat dengan belum atau tidak adanya pemerintahan pusat yang kuat, karena seluruh wilayah masih berdiri sendiri.
Ter Haar mengatakan bahwa hukum adat itu adalah keseluruhan peraturan-peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (dalam arti luas), yang mempunyai wibawa serta pengaruh, dan yang dalam pelaksanaannya berlaku dengan serta merta dipenuhi dengan sepenuh hati. Keputusan-keputusan ini diambil berdasarkan nilai-nilai hidup sesuai dengan alam rohani dan hidup kemasyarakatan anggota-anggota persekutuan itu.
Hukum adat yang berasal dari istilah Belanda “Adatrecht”, menurut van Vollenhoven harus dibedakan dari “Inlandschrecht” pada satu pihak, dan “Inheemsch recht” dilain pihak. “Inlandsch recht” lebih luas daripada hukum adat, karena mencakup hukum adat dan hukum tertulis (yang diadakan oleh pemerintah Belanda) bagi golongan bumiputera. “Inheemsch recht” lebih sempit, karena hanya memuat sebagian daripada hukum adat itu, yaitu hukum adat dikurangi unsur-unsur agama.
“Inlandsch recht” ini memuat paham van Vollenhoven merupakan sebagian daripada “Het recht van Netherlandsch Indie” yang terdiri dari :
1.      Hukum yang berlaku bagi orang-orang Eropa, dan yang dipersamakan dengan mereka.
2.      Hukum yang berlaku bagi orang-orang timur asing, dan
3.      Hukum yang berlaku bagi orang-orang Indonesia asli.
Jadi, hukum adat pada asal mulanya tidak lain daripada hukum yang berlaku bagi penduduk “asli” Indonesia, sebelum kedatangan orang-orang asing di tanah air kita. Yaitu hukum yang memenuhi kebutuhan manusia Indonesia. Dari masa ke masa, sampai saat didirikannya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia dan unsur-unsur agama diresepsikan ke dalam hukum adat setempat, menurut kebutuhan yang dirasakan oleh penduduk setempat-setempat itu pula.
Oleh karena itu, maka unsur-unsur agama yang diresepsikan ke dalam hukum adat Aceh, atau hukum adat Minangkabau berbeda dengan unsur-unsur agama yang diresepsi kedalam hukum adat Jawa atau huku adat Toraja, dan lain sebagainya, walaupun terutama dalam hukum perkawinan boleh dikatakan umumnyatampak adanya persamaan intensitas dalam resepsi unsur-unsur agama ini kedalam hukum adat. Hal ini disebabkan oleh karena filsafah agama yang dianut itu memang mempunyai pengaruhyang besar terhadap hubungan-hubungan dalam perkawinan ini.
Setelah Belanda mulai menduduki wilayah Indonesia, maka hukum adat itu ternyata dipergunakan untuk membedakan hukum yang berlaku bagi orang-orang bukan orang Eropa, sehingga bagian yang dinamakan “vreemde oosterlingen recht” yang tak tertulis juga dimasukan kedalam hukum adat.
Akan tetapi hal ini sesungguhnya kurang tepat, oleh karena orang-orang timur asing pada waktu kedatangan orang-orang VOC di Indonesia, merupakan golongan-golongan yang belum terintegrasi kedalam masyarakat Indonesia. Hal ini terbukti dengan adanya “kampong Arab” atau “Pecinan” yang mempunyai kepala-kepalanya sendiri dan peraturan-peraturannya sendiri yang terlepas dari peraturan-peraturan yang berlaku bagi penduduk asli.
Lagipula sesudah S. 1924-556 dan S. 1924-557, yang menyatakan seluruh atau sebagian hukum barat ini berlaku bagi orang-orang timur asing, sebenarnya sudah tidak ada alasan lagi untuk memasukan hukum kebiasaan daripada golongan ini ke dalam hukum adat Indonesia. Tidak lain oleh karena, memang hukum adat itu adalah hukum yang berlaku bagi rakyat penduduk asli kepulauan Indonesia.
Demikianlah maka menurut Prof.Supomo, hukum adat adalah hukum non-statutair yang sebagian besar adalah hukum kebiasaan dan sebagian kecil hukum Islam. Hukum adat itupun melingkupi hukum yang berdasarkan keputusan-keputusan hakim yang berisi azas-azas hukum dalam lingkungan, dimana ia memutuskan perkara. Hukum adat berurat berakar pada kebudayaan tradisionil. Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup, karena ia menjelma akan perasaan hukum yang nyata dari rakyat.
Sehubungan dengan ini, hukum adat itu dikenal di seluruh Indonesia secara umum, karena dimiliki oleh tiap daerah adat sebelum agama Hindu masuk ke Indonesia, berupa adat Melayu Polinesia. Dengan datangnya agama Hindu, agama Islam, agama Kristen hukum adat itu mendapat pengaruh, tapi tidak mengakibatkan lenyapnya hukum adat. Karena itu, Prof.Nasroen mengatakan bahwa hukum adat itu sanggup menyesuaikan diri dengan zaman. Menurut beliau, kedatangan agama Islam ke Minangkabau adalah menyempurnakan adat Minangkabau yang telah ada. Sehingga akhirnya ketentuan-ketentuan agama itu menjadi unsur hukum adat, karena telah diresepsi oleh hukum adat.
Setelah kedatangan orang Belanda ke Indonesia dan kemudian menjajah kita, perkembangan hukum adat dicampur tangani oleh politik hukum mereka, seperti di bawah ini :

1. Zaman VOC
Pada tempat pusat pemerintahan untuk semua golongan bangsa berlaku hukum Kompeni, yaitu hukum Belanda, secara keseluruhan. Diluar pusat pemerintahan, hukum adat anak negeri tidak disentuh sedikitpun.
Pada zaman VOC dibuat beberapa kitab-kitab hukum mengenai hukum adat yaitu :
1.      Kitab hukum Mogharraer, dibuat pada tahun 1750, untuk keperluan Pengadilan Negeri (Landraad) di Semarang. Buku hukum ini tidak memuat hukum adat yang biasanya berlaku dalam kehidupan rakyat sehari-hari, melainkan sebagian besar memuat hukum pidana Islam.
2.      Compendium van Clootwijk, yang disahkan pada tahun 1759. Kitab hukum ini merupakan pencatatan dari hukum adat yang berlaku di kraton-kraton Bone dan Goa.
3.      Compendium Freijer, dibuat pada tahun 1750, berisi himpunan peraturan-peraturan hukum Islam mengenai warisan, nikah, dan talak.
4.      Pepakem Cerbon, selesai dibuat pada tahun 1768, kitab ini dibuat oleh Mr.P.C.Hasselaar yang merupakan pengumpulan undang-undang jawa kuno.
Dalam praktek kitab-kitab hukum ini sedikitpun tidak terpakai karena tidak selaras dengan hukum adat yang hidup dalam masyarakat. VOC menyangka bahwa hukum adat itu terdapat dalam peraturan-peraturan yang tertulis karena mencari hukum adat dalam kitab-kitab hukum raja-raja dan kitab-kitab Islam. Sedangkan dalam praktek nyata, bahwa peraturan-peraturan dalam kitab-kitab tersebut tidak sama dengan hukum adat seperti yang hidup didalam masyarakat.
Lain daripada itu VOC menganggap hukum adat mempunyai kedudukan yang lebih rendah daripada hukum Belanda. Hal ini dibuktikan dalam Resolutie 30 November 1747, yang menetapkan aturan-aturan yang akan berlaku untuk Landraad di Semarang. Dimana ha tersebut menentukan bahwa Pengadilan ini berhak untuk mengadili perkara-perkara “jika mungkin terjadi ada perkara-perkara sipil atau pidana antara orang-orang jawa”, akan tetapi “segala perkara yang tercampur antara orang jawa dan orang Belanda”  masihlah “selamanya tetap tinggal dalam kekuasaan Raad van Justice Semarang”. Jadi yang berkuasa mengadili perselisihan antara orang jawa dengan orang Eropa ialah badan pengadilan untuk bangsa Eropa yang malakukan hukum Belanda.
2. Masa pemerintahan Gubernur Jendral Daendels (1808-1811)
Keputusan Daendels tanggal 4 April 1809, menyatakan bahwa “tiada kebiasaan anak negeri, acara perkara serta pemberian hukuman patut dibiarkan berlaku, jika ia bertentangan dengan dasar utama dari keadilan dan kapatutan”.
Seperti halnya VOC, maka daendels pun menganggap bahwa hukum asli di jawa terdiri dari hukum Islam, ternyata dengan dipergunakannya seorang penghulu yang dianggap sebagai ahli dan juru penasehat dalam hal dipergunakan hukum adat di Pengadilan.
Juga Daendels menganggap hukum adat itu lebih rendah derajatnya daripada hukum Eropa ia beranggapan hukum adat tidak cukup baik untuk orang Eropa.

3. Masa pemerintahan Raffles (Inggris) 1811-1816
Raffles berpendapat bahwa bagi bangsa Indonesia berlaku hukum adat, tapi berlakunya itu tak boleh bertentangan dengan “the universal and acknowledged principles of natural justice” atau dengan “the acknoeldged principles of substantial justice”.
Salah satu sifat politik Raffles ialah bahwa ia “diliputi pikiran perikemanusiaan yang dalam”  (humanisme) yang mendorongnya untuk menghilangkan atau setidak-tidaknya mengurangi pengaruh kepala-kepala rakyat Indonesia yang menurut pendapatnya adalah buruk sekali.
Akan tetapi maksud yang berperikemanusiaan dari Raffles ini seringkali ditiadakan oleh dua sifatnya yang lain, yaitu nasionalisme yang berlebih-lebihan, dan kecenderungannya pada teori, sehingga peraturan-peraturan yang diadakan oleh Raffles  kebanyakan tak bersandar pada keadaan didalam masyarakat yang nyata-nyata, oleh karena ia hanya mengambil bahan-bahan yang dapat membuktikan teorinya sendiri, dengan akibat bahwa peraturan-peraturan tadi hanyalah berarti sebagai peraturan di atas kertas yang tak berlaku.
Mengenai susunan peradilan Raffles membedakan susunan pengadilan untuk bangsa Indonesia didalam “Stad en Ommelanden” (daerah kota dan sekitarnya), dan susunan pengadilan untuk bangsa Indonesia “di desa-desa”.
Sedang mengenai hukum adat Raffles mengira, bahwa hukum adat adalah sama dengan hukum Islam. Mengenai hubungan antara hukum adat dan hukum Eropa dapatlah dikatakan, bahwa Raffles menganggap hukum adat itu hanya baik untuk bangsa Indonesia, akan tetapi tak patut, jika diperlakukan atas orang Eropa.

4. Masa pemerintahan Commissarissen General (1816-1848)
Hukum adat masih tetap diperlakukan bagi bangsa Indonesia, hal ini ternyata dari peraturan yang terdapat didalam S.1825 no.42, yang berbunyi “bahwa Raad van Justice, seperti juga Pengadilan Negeri (Landraad) dalam mengadili perkara yang dikemukakan padanya sebagai appel dari keputusan Landraad, harus menurut hukum-hukum adat atau hukum agama ataupun adat serta kebiasaan dari golongan anak negeri dari kedua belah pihak yang berperkara, atau yang dituntut, asal saja hukum ini tak bertentangan dengan keadilan dan kepantasan”.
Masih juga hukum adat itu dianggap sama dengan hukum Islam, karena jaksa dan penghulu ditunjuk sebagai penasehat kapada hakim tentang hukum adat yang harus diberlakukan dimana kewajiban jaksa dapat dipandang sebagai ahli tentang bagian hukum adat yang asli, dan kewajiban penghulu sebagai ahli hukum Islam, teranglah bahwa Commissarissen General tak mengetahui benar-benar bentuk dan corak hukum adat.

5. Masa 1848-1928
Pada tahun 1848 berdasarkan azas konkordansi di Indonesia diadakan kodifikasi hukum perdata (BW) tetapi kodifikasi ini tidak meliputi hukum yang berlaku bagi rakyat Indonesia, yaitu hukum adat, karema Mr.Scholten van Oud Haarlem sebagai ketua panitia dari pembentukan kodifikasi itu berpendapat, bahwa bangsa Indonesia terhindar dari berlakunya sendi persamaan hukum yang termaktub dalam perintah Pemerintah agung di negeri Belanda.
Untuk melaksanakan kemungkinan berlakunya kodifikasi ini bagi orang Indonesia dan timur asing, maka Wichers mengadakan penyelidikan-penyelidikan, dimana konsepsi Wichers untuk menjadikan sebagian hukum Eropa berlaku bagi orang Indonesia asli ditentang oleh Raad van Indie. Selanjutnya bagi orang Indonesia tetap berlaku hukum aslinya, yang mula-mula diatur dalam pasal 11 AB, kemudian azas-azas yang tercantum dalam pasal ini dimasukan ke dalam pasal 75 ayat 8 redaksi lama RR tahun 1854. Pada tahun 1919 pasal 75 RR ini mendapatkan redaksi baru. Pada tahun 1925 dibuat IS, sehingga pasal 75 RR redaksi baru menjadi pasal 131 IS.

6. Masa 1928-1945
Peradilan adat di daerah yang secara langsung diperintah (oleh pemerintah Belanda), diberi beberapa aturan dasar dalam ordonansi tertanggal 18 Februari 1932 yang diruangkan dalam S. 1932 no. 80, dan dalam peraturan-peraturan penyelenggara yang dibuat oleh residen setempat.
Peradilan swapraja diberi beberapa aturan-aturan dasar dalam Zelfbestuurreglement tahun 1938, yang diundangkan dalam S. 1938 no. 529. Hakim desa diberi wewenang untuk mengadili dalam S. 1935 no. 102. Pada tanggal 1 Januari 1938, Raad van Justice di kota betawi didirikan suatu adatkamer yang mengadili dalam tingkat bandingan perkara-perkara hukum perdata adat yang telah diputuskan oleh Landraad-landraad di pulau Jawa, di Palembang, Jambi,Bangka, dan Belitung, di Kalimantan dan Bali dengan S.1937 no.681.

7. Masa 1945-sekarang
Pada masa kemerdekaan atas berlakunya hukum adat masih terdapat dalam pasal 131 IS, karena dalam UUD 45 tidak ada ketentuan mengenai hukum adat, dan oleh sebab pasal II UUD 45 aturan peralihan berbunyi “segala badan Negara dan peraturan yang masih ada langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang dasar ini”.
Pada tahun 1960 telah dibuat undang-undang pokok agrarian yang berlaku bagi seluruh warganegara Indonesia, sehingga dibidang hukum tanah ini boleh dikatakan sudah terdapat unifikasi hukum dengan dihapuskannya perbedaan antara “tanah Eropa” dan “tanah adat”.
UUPA tersebut telah mengandung satu petunjuk yang penting bagi pembentukan seluruh hukum Nasional kita, yaitu bahwa di dalam membentuk hukum Nasional kita yang baru itu, maka hukum adatlah yang menjadi dasarnya.
Akan tetapi hukum Nasional kita itu harus merupakan hukum adat yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam Negara yang modern dan dalam hubungannya dengan dunia Internasional, serta disesuaikan dengan sosialisme Indonesia.
Hal mana berarti, bahwa disamping unsur-unsur hukum adat itu masih diadakan syarat-syarat lain yaitu :
1.      Bahwa hukum baru itu harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam Negara yang modern.
2.      Bahwa kepentingan masyarakat dalam Negara yang modern itu berarti pula, bahwa kepentingan bangsa Indonesia itu tak dapat ditinjau terlepas daripada kebutuhan-kebutuhannya sebagai akibat dan untuk memungkinkan pergaulannya dengan lain-lain bangsa di dunia.

1 komentar: